Jangan Terlalu Serius

Hitam putih Gerbang Taman Sari
Ritme kehidupan akan harmonis jika seimbang

Hidup ini permainan semu. Seperti halnya sandiwara. Tiap orang dapat peran berbeda. So, mainkan peran itu sebaik mungkin dihadapan SUTRADARA.


produksispot.blogspot.com -  Jangan ada bohong apalagi licik. Jangan sampai dengki apalagi menyakiti. Jangan sampai pelit apalagi serakah. Dan banyak lagi yang sebenarnya setiap kita juga sudah pada tahu. Deal ? Deaaal.... Okey, lanjut.

Yang namanya dunia, fana. Semua akan hancur. Itu berarti semua palsu bro (kata anak gahol, "cuy"). Dalam Al Qur'an - Alhamdulillaah sesuai keyakinan saya - disebutkan bahwa tidaklah dunia itu ibarat fatamorgana. Hanya kesenangan yang menipu. Udah gitu sementara lagi. Artinya, tempat asli kita bukan disini. Tetapi disuatu tempat yang wallaahu a'lam sayapun belum tahu itu dimana (ya ealah...). Tetapi yakin, saya maupun sahabat pasti katakan tempat itu ADA dan itulah hunian, kampung sesungguhnya.

Jadi poinnya ?

Nah gini-gini. Sob... kan udah tahu dunia tempatnya tipu daya, kepalsuan, sementara. Ngapain ngoyo terlalu serius ngejalaninnya ? KECUALI contoh dalam beberapa hal :

- Serius perbaiki ibadah. Oou itu WAJIB.

- Serius tidak akan puas apalagi berbangga dengan ilmu (karena jumlahnya juga emang cuman yang segini-gininya), HARUS dunks... eh halah... maksudnya, dong. *tu kan ikut-ikutan lebay...

- Serius memelihara, memperbaiki hati, akhlak. Tentu juga WAJIBkan?

Na kalau yang begitu memang harus serius. Ya udah Bismillaah ikhtiarkan. Tapi yaitu. Tetap bukan yang terlalu serius loh ya :)

Namanya juga "terlalu". Apa saja kalau dosisnya over, pasti dampaknya ngga bagus. Kalau terlalu serius, ntar kalau ada yg bersikap tidak seperti apa yang kita lakukan, wanti-wanti malah kita yang terjebak. Tertipu oleh kedigdayaan diri. Terjerembab ke dalam kubang kesombongan. Ya karena itu tadi. Terlalu serius sih....

Coba. Kalau terlalu serius, bisa-bisa kalau ada yang :

• Ngga pake songkok atau kupluk seperti yang kita pake, kita bilang ngga nyunnah.

• Jidatnya ngga hitam kaya jidat kita, lantas kita cuekin, mesemin.

• Berdoa bukan dengan doa yang kita tahu (katanya sih tahu) kita bilang bid'ah.

• Ngga bermuamalah spt gaya kita, kita bilang ngga mutu, keliru.

• Ngga hafal ratusan hadits atau ayat (katanya sih banyak hafalan), kita bilang bahlul.

Na lalu apa bagusnya kalau ujung-ujungnya yang ada didiri kita peran seperti itu ? Yang bisanya nyuekin orang, bermuka masam, ngga simpati, buruk sangka, suka nyalahin, ngekafirin, membentak-bentak ? Koq kayanya (bukan kayanya, emang iya keles) ngga beda tu sama orang jahat. Jauh dari tuntunan akhlak yang baik (Nauzubillaah. Kita semua berlindung padaNya). Padahal Rosulullaah Shalalloohu 'alaihi wassallam diutus untuk apa ?

Sahabatku yang baik, ini ni bahayanya kalau terlalu serius.  Ke-"terlalu"-an itu justru malah bikin potensi "kepeleset" makin menganga. Menganggap diri hebat, mulia, suci atau 'alim. Kita merasa telah banyak berbuat kebaikan. Padahal sayang. Kita ngga sadar kalau sebenarnya telah tertipu. Tertipu oleh diri kita sendiri. Memang masalah hati rada susah terdeteksi. Jangankan oleh orang lain, yang punya hatipun kadang sulit menyadari.

Udah deh. Jalanin apa adanya saja. Kita ngga tahu apa-apa soal orang lain soalnya. Mau itu yang pake surban atau ngga pake surban. Mau yang pake sarung atau cuman pake celana kalau shalat. Mau ngomong serba hadits atau yang ngga tahu (baca : belum tahu) apa-apa. Mau terkenal, yang ngga terkenal. Mau bertitel berderet atau yang ngga punya embel-embel. Mau pejabat atau cuman pesuruh. Mau yang tinggal di istana atau yang digubug. Selama aqidah dan akhlaknya tidak melenceng dari tuntunan yang benar, semua sama. Sama-sama hambaNya.

Bahwa kembali pada pengibaratan sebuah teatrikal drama dipanggung, manusia itu hanyalah pelakon naskah luar biasa sempurna sang SUTRADARA. Kan belum pernah nemu tu, ada sesama pemain sinetron, kacak pinggang mencak-mencak nyalahin partner mainnya. Karena tahu, yang berhak negor atau memvonis itu sutradara. Bukan sesama pemain. Ya kan ? *LOL

Once again, don't be too serious... Supaya nyadar aja. Kita  ini ngga ada apa-apanya. Ngga akan mungkin bisa memaksakan kehendak apapun pada orang lain, kecuali dengan izinNya.

Jika ada sesuatu, serahkan pada yang berhak mengatur. Simpan dalam hati kepasrahan itu. Kunci dalam brankas baja super. Biarkan dia bersemayam disana, dan ngga perlu "ditampak-tampakkan" lagi. Cukup diri sendiri yang tahu. Lalu buang kunci brankas itu sejauh mungkin. Ke laut kalau perlu. Biar saja tenggelam, hilang ditelan samudera (ilmuNya) yang luas yang mustahil untuk diselami hingga dasarnya. Apalagi seluruhnya.

Sampai kapanpun kita tak akan mampu menjadikan orang lain seperti yang kita mau. Itu namanya terlewat batas. Keinginan mengubah mungkin jadi satu panggilan moral, jadi bagian ikhtiar mulia. Tetapi bagaimana, dimana dan kapan perubahan itu bisa terjadi atau bahkan tidak, sama sekali bukan kuasa kita. Jadi santai saja. Jangan terlalu serius ya. Wallahu a'lam.



Wassalam




No comments:

Post a Comment